Ada sebuah
ungkapan klasik berbunyi: “Di dunia ini, sebenarnya, tiada
sesuatu yang baru!” Sekiranya kita melihat dari segi tabiat, keinginan
dan perwatakan manusia, sejak dahulu hinggalah sekarang ini, maka ungkapan di
atas amat tepat. Manusia memang mempunyai tabiat dan kecenderungan yang sama,
yang itu juga: ada persahabatan dan perselisihan, ada kezaliman dan ada pula
keadilan, ada saat berdamai dan ada ketikanya berperang. Malah, ada bangsa yang
bangun dan maju, ada pula bangsa yang jatuh tersungkur. Begitu jugalah dengan
tamadun serta peradabannya.
Allah s.w.t. menyeru manusia supaya mengambil pengajaran dari peristiwa lalu,
kejadian dan peristiwa yang sudah dilalui oleh umat terdahulu. Dari sini
jelaslah bahawa kehidupan manusia merupakan streotaip, suatu pengulangan dari
yang sudah pernah ada atau dialami umat yang sebelum kita. Apa yang kita hadapi
sekarang sudah pernah dilalui oleh umat atau generasi yang sebelum kita, dan ini
juga akan dialami oleh generasi yang selepas kita nanti.
Jadi kita dituntut supaya mengambil pengajaran dari peristiwa lampau atau
kejadian pada generasi terdahulu, supaya kita dapat memperbaiki keadaan yang
sedang dan akan berlaku.
Allah s.w.t. berfirman:
Maka ambil iktibar (pengajaran), wahai
orang-orang yang mempunyai penglihatan. (Surah al-Hasyr: 2)
Begitu manusia
berganti dan masa berubah, namun watak dan kecenderungannya tetap juga serupa.
Maka, memandang ke belakang, sejarah manusia yang panjang itu, melahirkan
kebijaksanaan. Cara ini akan dapat menembus masa lalu sambil memperhatikan
pelbagai peristiwanya, membahas nasihat-nasihatnya, dan mengambil bekal dari
percubaan-percubaan orang-orang terdahulu, lalu kita tahu bagaimana mereka
menjauhkan diri mereka dari kesesatan. Inilah pandangan seorang mukmin yang
bijaksana.
Allah s.w.t. berfirman , yang maksudnya:
Maka apakah mereka tidak berjalan di
muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat
memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Kerana,
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di
dalam dada.
(Surah al-Hajj:46)
Seandainya
kita menyempatkan diri membolak-balik lembaran al-Quran nescaya kita akan banyak
menjumpai kisah yang sengaja Allah abadikan di dalamnya untuk tatapan manusia
seperti kita, yakni yang berkenaan dengan kejadian-kejadian pada masa lalu,
termasuklah di dalamnya pengalaman yang dilalui orang-orang yang bertakwa, juga
akibat yang ditanggung oleh orang-orang yang berbuat dosa. Pendek kata,
pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Kesenuanya dijelaskan dan
dibentangkan oleh al-Quran di hadapan kita dengan jelas supaya kita mahu dan
bersedia memperhatikan dan memikirkannya.
Allah s.w.t. berfirman, yang maksudnya:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai fikiran. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi ia
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya
dan menjelaskan segala sesuatu, dan
sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
(Surah Yusuf: 11)
Kalaulah kita
benar-benar ingin menjadi manusia yang mengenali inti kemanusiaan, maka
seharusnya kita bersedia mengarahkan pandangan kita ke pangkuan sejarah.
Menerusi kejadian yang benar dan batas-batas yang jelas inilah seharusnya kita
pelajari masa lampau itu. Mengimbas kembali waktu lampau itu bukanlah untuk
memperbaharui rasa sedih atau mengungkit luka lama hingga berdarah semula, atau
berputar di sekitar tragedi yang menyakitkan hati kita, lalu kita berkata:
sekiranya, seandainya atau kalaulah dan sebagainya. Kata-kata seperti
ini sangat dibenci oleh Islam. Bahkan, sikap ini merupakan resmi atau kebiasaan
orang-orang munafik dan yang di dalam hatinya ada penyakit.
Allah s.w.t.
berfirman, yang maksudnya:Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang
tidak mereka terangkan
kepadamu; mereka berkata: Sekiranya kita diberi kebebasan untuk memilih dalam
urusan ini,nescaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini. Katakanlah:
Sekiranya kamu berada di rumahmu, nescaya orang-orang yang telah ditakdirkan
akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh. (Surah Ali
Imran: 168)
Allah s.w.t.
berfirman lagi, yang ertinya: Orang-orang yang mengatakan kepada saudaranya,
dan mereka tidak turut pergi
berperang:Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.
Katakanlah, tolaklah kematian itu dari dirimu jika kamu orang-orang
yang benar.
(Surah Ali Imran: 168)
Sebenarnya,
ratap pilu dan keluh-kesah tak sudah ini telah menguasai orang-orang yang lemah
imannya, sesudah terjadi perang Uhud. Kerana kerugian-kerugian yang dideritai
oleh penduduk Madinah sesudah serangan kaum musyrikin itu telah meninggalkan
kesan yang mendalam, dan membuka peluang bagi orang-orang yang dengki terhadap
Islam untuk mencela dan menyesali kejadian tersebut.
Pada waktu
yang sama Allah s.w.t. telah menurunkan ayat-ayat al-Quran yang mampu mengubati
luka ini dan menghimpun kembali persatuan kaum muslimin setelah musibah yang
menimpa mereka itu.
Satu daripada
pengajaran yang diberikan oleh Allah kepada mereka adalah supaya mengalihkan
pandangan mereka ke masa depan dan memalingkan fikiran mereka dari masa lalu,
serta mencegah mereka dari terpaku menangisi keruntuhan masa lalu yang telah
pergi, dan tidak akan berulang kembali.
Sikap
menangisi nasi yang sudah menjadi bubur bukanlah sikap yang terpuji.
Sesungguhnya ini bukanlah ciri-ciri orang yang mempunyai semangat satria dan
penuh kelelakian, dan bukan pula bertolak dari logika iman.
Bagaimanapun,
kita memang perlu mengetahui punca kesalahan pada masa yang lalu, agar tidak
berulang kesalahan yang serupa pada masa akan datang. Kita tidak akan melihat
apa yang sudah terjadi kecuali sekadar dapat menarik pelajaran daripadanya.
Inilah yang dikehendaki oleh al-Quran al-Karim, yakni menunjukkan faktor-faktor
dan sebab-sebab kekalahan tersebut dengan ringkas.
Allah s.w.t.
berfirman, yang maksudnya: Sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam
urusan itu dan menderhakai
perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepada kamu apa yang
kamu sukai.
(Surah Ali Imran: 152)
Allah s.w.t.
berfirman lagi, yang maksudnya:
Sesungguhnya orang-orang yang berpaling diantara kamu pada hari bertembungnya
dua pasukan itu, sesungguhnya mereka digelincirkan oleh syaitan disebabkan
sebahagian kesalahan yang telah mereka perbuat (pada masa lalu) dan sesungguhnya
Allah telah memberi maaf kepada mereka.
(Surah Ali Imran: 155)
Mereka tidak
dibiarkan bersedih berpanjangan. Lalu Allah pun menolong mereka dengan sesuatu
yang dapat meringankan rasa pedih yang mereka rasakan itu. Mari kita berfikir
dengan positif. Untuk apalah kita menampar-nampar pipi dan mengoyak-ngoyak poket
baju kerana kita beroleh keberuntungan atau kerana kita ditimpa kerugian? Apalah
keuntungan yang diperoleh orang yang tertarik fikiran dan perasaannya kepada
masa lalu yang telah terkubur selain hanya menambah peritnya luka lama dan
pedihnya sebuah kekalahan?
Seandainya
tangan kita dapat meraih masa lalu dan kemudian mengubah kejadian-kejadian yang
tidak disukai dan memutarnya kepada yang disukai, maka dalam hal ini kembali
kepada masa lampau itu wajib. Dan tentu kita semua akan bergegas ke sana, untuk
menghapus perbuatan-perbuatan yang amat kita sesali, dan melipat gandakan
bahagian kita yang tidak memadai. Sekiranya sudah jelas bahawa hal itu tidak
mungkin, maka lebih baik kita memperuntukkan segala kemampuan kita buat memulai
hidup baru, maka hanya di dalamnyalah pengganti dapat kita temui.
Sebenarnya
seseorang tidaklah dianggap jahat atas keinginannya yang sangat kuat terhadap
kemaslahatannya. Namun jika kemaslahatan ini hilang kerana sesuatu sebab,
terutama yang berkaitan dengan urusan ajal atau rezeki, maka hendaklah kita
menjadikan iman kepada Allah dan kepada ketentuan-Nya sebagai pelipur dari
kegundahan dan kecemasan yang bertubi-tubi datangnya.
Maka dengan
tegas al-Quran al-Karim telah menegur mereka yang bersikap demikian, sesudah
kaum muslimin mengalami kekalahan dalam perang Uhud. Al-Quran juga
memperingatkan orang-orang yang terus menangisi para syuhada, orang-orang yang
menyesal telah berangkat ke medan perang itu:
kalaupun kamu tetap tinggal di rumah kamu nescaya
hidup kamu tidak akan bertambah panjang dari ajal kamu:
Sekiranya kamu berada di rumah kamu, nescaya orang-orang yang telah ditakdirkan
akan mati terbunuh itu keluar (juga) ketempat mereka terbunuh.
Lantas,
mengapa mereka masih terus bersedih dan meratapi kejadian itu? Sekiranya sebuah
kapal terbang jatuh terhempas ke bumi dengan penumpang dan barang yang dibawanya,
maka nampaklah di celah-celah mayat-mayat yang hangus itu ada seorang bayi tidak
apa-apa, sihat walafiat keadaannya. Kemudian, mengapa kita masih belum mengakui
takdir melalui apa yang telah terjadi itu? Belumkah mencukupi bagimu kejadian
seperti ini sebagai penghibur hati yang duka?
Untuk
melanjutkan perbincangan kita dalam topik ini, Dale Carnegie mengajak kita
berfikir lebih jauh lagi. Katanya: Kita dapat melakukan sesuatu untuk mengubah
akibat dari apa yang terjadi 180 saat yang lalu, tetapi kita tidak mungkin dapat
mengubah peristiwa yang sudah terjadi! Hanya ada satu cara untuk memanfaatkan
masa lalu, iaitu dengan membuat analisa yang tenang terhadap apa yang sudah
terjadi, atau semua kesalahan yang telah kita perbuat dan menarik pelajaran
daripadanya dan kemudian melupakannya!
Dale Carnegie
mengatakan hal yang benar, dan saya mengerti hal tersebut, tetapi apakah kita
memiliki keberanian yang cukup untuk melakukannya? Kemudian beliau melanjutkan:
Seorang lelaki
bernama Sauders pernah menceritakan kepada saya bahawa Mr. Brandwine, seorang
guru yang mengajar mata pelajaran ilmu kesihatan di sekolah George Washington
High School, mengajarkan kepadanya suatu pelajaran yang tidak dapat ia dilupakan
seumur hidupnya. Berikut ini marilah kita perhatikan Sauders menceritakan
kisahnya: “Pada waktu itu saya masih remaja, belum lagi mencapai usia dua puluh
tahun. Nasib saya sungguh malam kerana pada usia itu saya sudah mengidap
penyakit cemas. Saya selalu sedih dan makan hati atas perbuatan yang telah saya
lakukan. Selesai mengikuti peperiksaan, saya selalu tidak dapat tidur malam,
saya hanya berbaring sahaja sepanjang malam, kerana terlalu takut aku tidak
berjaya dalam peperiksaan itu. Memang saya seorang remaja yang sering hidup pada
masa silam, pada suatu yang sudah saya lakukan, dan selalu berharap agar saya
telah melakukan hal-hal yang berbeza, malah saya sering berfikir bahawa apa yang
telah saya lakukan itu hendaknya berbeza dengan saya inginkan sesudahnya”.
“Apabila
sampai pada suatu pagi, semua murid dalam kelas disuruh masuk ke makmal. Tidak
berapa lama setelah itu, Mr. Brandwine datang dengan membawa segelas susu yang
kemudian diletakkan di atas meja yang ada di hadapannya. Kami semua memandang ka
arah gelas yang berisi susu itu dan bertanya-tanya dalam hati: Apa pula gerangan
hubungan susu dalam gelas itu dengan pelajaran yang akan diterangkannya kali ini?
Mr. Brandwine berdiri serta merta dari kerusinya, lalu tangannya tersentuh gelas
berisi susu tersebut hingga ia jatuh berkecai dan isinya tumpah ke tanah.
Kemudian, dengan suara yang hampir berteriak, beliau berkata kepada kami:
"Jangan
tangisi susu yang tertumpah!”
“Kemudian ia
meminta kami semua melihat pecahan-pecahan gelas dan cairan susu yang telah
meresap ke dalam tanah itu, lalu ia berkata: “Cuba lihat baik-baik, saya ingin
kamu meresapkan pelajaran ini kedalam hati untuk selama-lamanya. Susu tadi telah
hilang seperti yang kamu lihat, meresap kedalam tanah. Tidak ada satu
kekuatanpun yang mampu mengembalikannya walau hanya setitis. Barangkali, jika
kita mahu berfikir dan berhati-hati, mungkin kita dapat mengelakkan kejadian
tersebut, tetapi kini segalanya telah terlambat. Apa yang dapat kita kerjakan
sekarang adalah melapnya dan melupakannya. Lalu, kita teruskan pekerjaan lain
yang masih tersisa, yang perlu diselesaikan.
Alangkah
tepatnya pengajaran tersebut, dan hal yang hampir sama disebut dalam hadis yang
berikut ini: Minta tolonglah kepada Allah dan jangan menjadi lemah. Jika
engkau ditimpa sesuatu maka janganlah mengatakan: “Seandainya aku mengerjakan
begini maka akan menjadi begitu!” Tetapi katakanlah: “Itu semua adalah takdir
Allah, apa yang dikehendaki-Nya dibuat-Nya.” Sebab, perkataan: “seandainya…” itu
akan membuka pintu buat syaitan.
Keberanian
untuk melepaskan masa lalu, maka kita, dengan izin Allah, mampu meneruskan
perjalanan hidup kita dengan penuh semangat dan harapan semoga di lain kali
berjaya.